Tuesday, January 11

Why am I so interested in madness?

Iya, kenapa? Salah satu buku favorit aku adalah Veronika Decides to Die. Ia masuk rumah sakit jiwa karena mencoba bunuh diri. Dan di buku itu aku bisa baca ttg 'normal' dan 'gila'.

Cerita lain yang aku suka banget adalah Diary of A Madman. Tragis.

Otak manusia itu menakjubkan, kan? Apalagi otak yang 'sakit'. Orang sizofren melihat benda yang gak ada senyata orang normal melihat benda yang benar2 nyata. Setidaknya respon otaknya sama. BTW, dari mana kita tahu yg kita liat itu nyata / enggak? Karena 99 dari 100 orang juga liat? Dan maka hal itu jadi kenyataan? Gimana kalo ternyata yang bener yang 1 orang, dan bukan yang 99? Padahal nilai normal berarti sesuatu yang berlaku umum, konsensus, yang terus jadi nilai. Maka yang 99 yang salah itu normal (=benar) dan yang 1 yang benar itu abnormal (=salah).

Aku pernah, waktu SD, jadi satu2nya orang di antara sekitar 40 yang menjawab "TIDAK" ketika yang lain berkata "YA". Pertanyaannya adalah ini, diajukan oleh guru IPA-ku, "apakah gula hilang ketika kita aduk di dalam air?". Okay, pengalaman itu bener2 menyeramkan. Satu suara, tenggelam di antara konformitas. Dan parahnya lagi, waktu itu aku duduk di belakang, dan aku harus TERIAK untuk menyampaikan pendapatku yang satu2nya itu. Dan teriakanku makin lama makin lemah, dan aku makin ragu, tapi gak (belum) sampe berubah. And you know what? AKU YANG BENAR. 1/40. Abnormal, tapi benar.

Back to madness. Ketika nilai normal ditentukan dari mayoritas, dan bukan kebenaran mutlak, siapa yang gila dan siapa yang bukan?

Dalam hidup kamu harus konform, katanya. Dan memang sepertinya begitu. Orang2 yang pintar bergaul itu bisa mengambil (adopt) nilai2 normal dan terus jadi dirinya sendiri (mungkin). Aku gak begitu. Sampe hari ini, aku masih jadi 1/40. Gilakah? Atau justru yang benar?

No comments: