Thursday, November 3

brave decision (part 2)

Oke... berhubung ada yg mengingatkan kalo aku janji  bikin part 2 dan seterusnya, yok maree lanjut...

Jalan kaki dan naik bis: pilihan yang bukan pilihan

sebagai orang yg cukup punya, dalam artian punya mobil pribadi plus supirnya, mungkin lucu bagi orang lain untuk melihat aku pagi2 jalan kaki, dengan rencana habis itu naik bis umum, ke kantor. dengan standar gaji dan gaya hidupku, yang menurut 'bracket' ekonomi masuk ke 'golongan menengah' (meski menengahnya agak berat ke bawah), tentunya harusnya aku tidak lagi jalan kaki dan naik bis. orang2 sepertiku, cocoknya naik mobil, entah disupirin ato bawa sendiri. minimal2, saat mobil tak tersedia, yang cocok adalah naik kendaraan umum yang pribadi (= taxi).

ini 'rasa' yang aku dapat dari pandangan satpam kompleks, sewaktu pagi2 liat aku jalan, dan berencana naik bis. kok jalan, mbak? seolah jalan kaki itu udah bukan 'hak'ku lagi.

dilihat dari 'bawah', mungkin hirarkinya begini:
- nggak punya duit - jalan kaki, lanjut dengan moda lain
- punya duit dikit - naik ojeg, terusin dengan moda lain
- punya duit agak banyakan lagi - naik taksi
- klo gedongan dan bener2 punya duit - naik mobil pribadi lah
* di luar skala ini saya gak tauk, belum nyampe levelnya

serunya lagi, klo mo melebarkan pandangan, dan menelaah (cieee...) dari segi sosiologi, orang kita itu kan pemake status banget ya? klo orang kaya, ya tongkrongannya, jinjingannya, harus barang2 yang gedongan juga. klo engga, bukan orang punya, namanya. jadi tentunya, kegiatan saya jalan kaki mo naik bis itu tidak melambangkan 'golongan' saya.

dengan semangat kejujuran penuh, kuakui klo naik bis umum itu, memang pilihan terakhir. kepepet, istilahnya. bukan karena harganya yang murah terus bikin kelas jadi turun, tapi masalah: aman, nyaman. jalan kaki juga demikian. bukan masalah otot kaki dan paru2 ga kuat, tapi balik lagi ke masalah: aman, nyaman nah.. itu hal panjang lain buat dibahas....

see you in part 3

No comments: